Jumat, 31 Juli 2015

Konsep KeTuhanan dalam Islam



Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity ‘ketertarikan’. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti
Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat
Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Buku karangan plato yg terkenal adalah berjudul “etika, republik, apologi, phaedo, dan krito.
Tuhan atau Allah hakekatnya adalah cermin bagi diri manusia karena DIA menjadikan cermin ini sebagai jembatan antara manusia dan DIA. DIA yang sering disalah artikan yakni disamakan dengan Tuhan atau Allah, padahal DIA adalah ESA. Esa artinya tidak berbilang, tidak ternamakan, tidak terfikirkan,tidak pula terusahakan,tidak terkenali. DIA satu-satunya ZAT, satu-satunya yang mampu.Yang lainnya bukan zat dan tidak berkemampuan, tidak pernah mampu memohon/berdoa kepada DIA, dan tidak pantas DIA menerima doa/permohonan, karena DIA adalah ABSOLUT tidak mengalami usaha/perbuatan, tidak mengalami proses berfikir, sehingga DIA tidak pernah terkait hubungan sebab-akibat/perbuatan. Sebaliknya manusia adalah kumpulan USAHA/proses berfikir dan terkait hubungan sebab akibat dari kumpulan keinginan/pengorbanan, bukan kemampuan dan zat sebagaimana DIA. Tuhan atau Allah adalah cermin yang dapat difikirkan dan dapat dirasakan, dan mempunyai nama dan sifat yang dapat dikenali manusia sekaligus karena Allah adalah cermin, maka Allah adalah titik terdekat manusia dengan DIA. Dengan demikian perintah beriman kepada Allah semestinya diartikan bahwa manusia hendaklah berusaha membuktikan adanya cermin (Allah) dalam dirinya dimana ia bercermin dan mengenali dirinya sehingga ia menerima tanda-tanda adanya DIA. Al Quran adalah siarnya Allah kepada manusia yang menjelaskan fungsi CERMIN agar manusia tidak bercermin kepada selain Allah, dalam usaha manusia mencari tanda-tanda adanya DIA. Semestinya manusia berdoa demikian ” Dengan menyebut nama Allah (BERCERMIN) agar diberikan kebaikan didunia dan di akhirat”. Perkataan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ mengandung arti ” dengan menyebut nama Allah (BERCERMIN) agar mendapatkan Kasih dan Sayang”. Jadi sebenarnya ,kebaikan dunia dan akhirat, pengasih dan penyayang itu ada dalam diri manusia sendiri. Dengan demikian semua sifat atau perbuatan mengasihi, menyayangi, mencipta, menguasai, melihat, mengetahui, dsb adalah murni sifat manusia, yakni hasil fikiran yang terkait proses sebab akibat. Adalah salah menyatakan bahwa DIA bersifat dan berbuat, bahkan energi/kekuatan untuk melakukan semua sifat dan perbuatan itu hanyalah DIA, karena itu DIA lah satu-satunya ZAT dan yang Mampu.
Allah adalah esensi syahadat. Syahadat adalah esensi ikhlas. Ikhlas adalah esensi sabar. Sabar adalah esensi lindungan, dan kasih sayang Allah. lindungan Allah adalah esensi ibadah, dan kasih sayang Allah adalah esensi amal shaleh. Allah adalah CERMIN — yang menampilkan citra/bayangan benda didepannya dengan apa adanya, agar manusia yang melihat ke cermin tsb, mendapati dirinya sendiri –mengenali dirinya sendiri–. Menyembah DIA adalah mustahil, karena DIA diluar fikiran manusia, DIA adalah ESA/HAQ, ZAT yang MAMPU dan BENAR. semua bentuk ibadah semestinya(sholat, dzikir, puasa dll) bertujuan agar manusia senantiasa menaati Allah (bercermin), karena sebelumnya fikiran dan hawa nafsu manusia telah menguji dirinya sendiri, dan hasilnya adalah bahwa fikiran dan hawa nafsu TIDAK PERNAH BENAR-BENAR MAMPU dalam hal apapun. karena itu, Sholat yang maknanya mengingat Allah sesungguhnya adalah bercermin diri (bagi fikiran dan hawa nafsu), dan jika tidak diikuti (tidak bercermin diri) maka menurut fikiran dan hawa nafsu Allah telah MATI. dan yang rugi hanyalah manusia sendiri.
1.      apakah “gambaran tuhan yang menghukum” akan melulu membuat penyembahnya terkekang dan “menyiksa batin” penyembahnya?
2.       apakah gambaran itu bisa memberikan efek yang sebaliknya, membuat penyembahnya menjadi manusia paling berkembang?
adakah contoh yang dapat diberikan?
3.       apakah “gambaran tuhan permisif” akan melulu membuat umatnya bergembira dan berkembang?
4.       apakah ada kemungkinan “gambaran tuhan permisif” tersebut menjadi bumerang bagi si tuhan, karena umat penyembahnya mengira “aku memuliakan tuhanku” padahal mereka menghinakannya? bisa berikan contohnya?
5.      apakah bisa dikatakan “gambaran tuhan permisif” merupakan suatu “defense mechanism” (denial, atau lain2?) terhadap aliran pemikiran “tuhan pengekang”?
Dalam konsep
Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (
tauhid).Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa.Menurut al-Qur’an terdapat 99 Nama Allah (asma’ul husna artinya: “nama-nama yang paling baik”) yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda.Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah “Maha Pengasih” (ar-rahman) dan “Maha Penyayang” (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.
Menurut al-Qur’an, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’am[6]:103)
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada
urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok
agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi
Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar
al-Qur’an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.
Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur’an (
Al-’Alaq[96]:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan “penuturan Allah tentang diri-Nya.” Selain itu menurut Al-Qur’an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A’raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.
Konsep Tuhan berdasar spekulasi
Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai mendistorsi Al-Qur’an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari rasionalitas hingga agnostisisme, panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.
Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif diantaranya adalah
Hulul, Ittihad, dan Wahdatul Wujud.
Keimanan dan ketaqwaan adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Jika kita melihat dari definisi kedua istilah tersebut tentunya hubungan antara kedua nya terlihat dengan jelas.
Keimanan diambil dari kata iman yang secara bahasa diartikan percaya. Namun, setelah mendapat imbuhan ke-an maka kata tersebut bisa diartikan menjadi suatu nilai religius yang dimiliki oleh setiap muslim untuk cenderung melakukan segala hal sesuai dengan aturan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kehidupan yang dijalaninya teratur sedemikian rupa. Dari definisi di atas tentunya kita bisa melihat syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap individu yang mengharapkan keimanan tersebut. Syarat itu tiada lain adalah keadaa muslim. Setiap mu’min (orang yang memiliki keimanan bagus) pasti seorang muslim juga, tetapi pernyataan tersebut tidak sebaliknya. Hubungan antara dua keadaan (mu’min dan muslim) tersebut bisa disebut Nisbat ‘Umum Khusus Muthlaq.
Keimanan yang dimiliki oleh tiap-tiap individu manusia di alam dunia ini berbeda-beda. Bahkan dalam suatu Hadits disebutkan bahwa keimanan seseorang itu bisa meningkat dan berkurang.
Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para ahli ma’rifat berkata, “Jalan-jalan menuju ma’rifatullah sebanyak nafas makhluk.” Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli Hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al Quran dan Hadis). Mereka beralasan dengan adanya sejumlah ayat dan riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra’yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al Quran dan Hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah
Tanda dari Iman yang sejati ada tiga macam, yaitu:
Pertama, Mereka dapat mendengar tasbih, dzikir pujian dan penghormatan yang
diberikan oleh seluruh makhluk kepada Tuhannya. Dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa tidak satu pun di dunia ini yang tidak bertasbih, bahkan benda-benda yang
tidak bergerak pun ikut bertasbih. Suatu ketika Rasulullah saw mengambil
segenggam batu dan mengangkatnya sehingga para sahabat mendengar tasbih dari
batu tersebut. Ini adalah suatu keajaiban, dan halini bisa memberikan Iman yang
sejati kepada mereka para sahabah.
Kedua, Allah swt membukakan hatinya kepada sumber hikmah sehingga dia bisa
mengetahui segala hikmah yang tersembunyi di balik segala benda di alam ini,
selain itu juga mengetahui kegunaan dan posisi masing-masing. Bagaikan sari
bunga Mawar yang membentuk tetesan kecil dalam cairan bunga Mawar, dia
mempunyai hikmah atau inti dari pengetahuan.
Ketiga, Tidak ada sekat atau pemisah antara dirinya dengan alam Barzakh dan
alam Surga. Dia bisa bertemu siapa saja, ruh Nabi saw, para Anbiya atau Awliya
dari alam Barzakh tanpa ada halangan.
Sampai ketiga tanda ini muncul, ketahuilah bahwa kalian masih tersekat, kalian
masih terhijab dan belum terbuka terhadap cahaya keimanan. Allah swt berfirman,
“Wahai orang-orang beriman! Percayalah kepada Allah, Rasul-rasul-Nya, dan
Kitab-kitab-Nya (Qs An Nisa’ 136). Ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang
beriman untuk percaya dan mengisyaratkan agar mereka bisa meningkatkan keimanan
mereka sampai mencapai Iman yang sejati dan tidak berhenti pada Iman yang
imitasi saja.
Keimanan dan ketaqwaan adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Jika kita melihat dari definisi kedua istilah tersebut tentunya hubungan antara kedua nya terlihat dengan jelas.
Keimanan diambil dari kata iman yang secara bahasa diartikan percaya. Namun, setelah mendapat imbuhan ke-an maka kata tersebut bisa diartikan menjadi suatu nilai religius yang dimiliki oleh setiap muslim untuk cenderung melakukan segala hal sesuai dengan aturan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kehidupan yang dijalaninya teratur sedemikian rupa. Dari definisi di atas tentunya kita bisa melihat syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap individu yang mengharapkan keimanan tersebut. Syarat itu tiada lain adalah keadaa muslim. Setiap mu’min (orang yang memiliki keimanan bagus) pasti seorang muslim juga, tetapi pernyataan tersebut tidak sebaliknya. Hubungan antara dua keadaan (mu’min dan muslim) tersebut bisa disebut Nisbat ‘Umum Khusus Muthlaq.
Keimanan yang dimiliki oleh tiap-tiap individu manusia di alam dunia ini berbeda-beda. Bahkan dalam suatu Hadits disebutkan bahwa keimanan seseorang itu bisa meningkat dan berkurang.
iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
Kata takwa (التَّقْوَى) dalam etimologi bahasa Arab berasal dari kata kerja (وَقَى) yang memiliki pengertian menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Oleh karena itu imam Al Ashfahani menyatakan: Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan dosa.
PRINSIP IMPLIKASI PROSES TERBENTUKNYA IMAN
  1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
  2. Prinsip internalisasi dan individuasi
  3. Prinsip sosialisasi
  4. Prinsip konsistensi dan koherensi
  5. Prinsip integrasi
Problem Adalah tugas kita untuk menyempurnakan risalahnya dalam membebaskan manusia dari perbudakan kemiskinan dan kemelaratan mengakui hak perseorangan dalam hidup yang bebas dan terhormat menegakkan prinsip prinsip kegotong royongan untuk mana kita harus memerangi pendirian manusia serakah =yang menurut agama manapun itu salah namun suatu hal yang menakjubkan bahwa orang orang kaya banyak termakan oleh itu sendiri baik dinegara barat eropa dan lain lain .T ermasuk juga indoniesia kecerobohan mereka sedang orang orang miskin menerima konsep ini itupun karena letak ketidak berdayaan belaka dan sementara pemuka pemuka pemimpin pemimpin agama,maupun pemerintah
juga melalaikan itu dengan dalih[mereka mementingkan kompor sendiri ]yang ada terlibat dalam gelombang konsep ini karena kelalaiyan saja alkitab datng menjumpi konsep ini lalu menyerukan kepada manusia manusia yang kaya harta sekaligus kaya iman agar mereka sudi mendermakan sebagian harta nya untuk manusia manusia yang mebutuhkan serta menetapkan adanya hak tertentu bagi orang orang miskin umumnya karena itu tatkala mereka beragumentasi bahwa hal itu adlah kehendak tuhan [takdir ]maka alkitap menulak pendirian mereka itu serta menyatakan bahwa mereka dalam kelalaiyan yang nyata hal itu dinyatakan oleh tuhan dalam firmanya berbunyi kasih sayang [tali kasih]apabila dikatakan kepada mereka dermakanlah sebagian harta mu untuk saudarmu , keimanan menjawa b sedang kan nafsu serakah juga menjawab dan disinilah bentuk ujian tuhan pada sang hamba .adakah kesesatan atau kelalaian yang lebih nyata nafsu dan iman seorang hamba maka tuhan tuhan memberi kiasan hujan dan panas agar kita merenung bahwa hidup ini tidak lain harus mengalir kan harta kita kepada yang membutuhkan artiny a memberi itu labih baik menurut kaca mata agama .betapa besarnya dasar dasar nyang telah ditanamkan oleh agama bahwa setiap kesulitan didunia iniada jalan pemecahanya dan setiap penyakit pasti ada obatnya sesungguhnya yang menciptakan penyakit tidak lain dan tidak bukan adalah tuhan kemiskinan serta kesengsaraan didunia ini hanyalah ujian tuhan terhadap kita orang orang yang mampu menjaga keimanan kita mampu atau tidak mampu itupun tergantung iman .justru itu keharusan bagi kita untuk mengiris nafsu dengan iman yang tajam hinga tiadalah kata sengsara di alam jagat ini .amin . Dan islam mengajarkan jikalau kita ditimpa suatu problem ataupun masalah yang berbentuk apapun kita kembalikan kepada Alloh swt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar