Jumat, 31 Juli 2015

Problematika Bahasa Daerah dalam Kurikulum Nasional (K13)



APABILA bahasa daerah terabaikan dalam Kurikulum 2013, saya khawatir cita-cita masyarakat yang berkarakter tidak akan tercapai dan akan semakin jauh panggang dari api. Akan sangat sulit bagi seorang anak didik mengenal jati dirinya tanpa mempelajari bahasa daerahnya, yang bagi sebagian masyarakat menjadi bahasa ibunya. Pemerintah jangan lengah, bahwa bahasa daerah yang sebagian besar di Nusantara ini masih digunakan sebagai bahasa ibu itu bukan hanya urusan pemerintah daerah, tetapi harus menjadi urusan nasional. Bahkan UNESCO saja telah mendeklarasikan pentinya melestarikan bahasa ibu. Sebagai bukti kepeduliannya UNESCO, setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.Salah satu alasan Pengembangan Kurikulum 2013, di antaranya untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan adanya persepsi masyarakat bahwa pendidikan sekarang kurang bermuatan karakter. Saya sangat setuju dengan alasan itu. Kemampuan berkomunikasi adalah salah satu indikator keberhasilan pendidikan. Berkomunikasinya tentu dengan bahasa yang santun, karena kesantunan berbahasa adalah salah satu ciri manusia berkarakter. Hal itu perlu dipelajari. Menuntut ilmu pada hakekatnya belajar berbahasa. Tanpa adanya bahasa ilmu itu tidak pernah ada.
Kemudian pengembangan Kurikulum 2013 didukung pula dengan adanya persepsi masyarakat bahwa pendidikan sekarang kurang bermuatan karakter. Saya sangat setuju. Tapi untuk belajar karakter bangsa akan lebih mengena dengan cara mempelajari bahasa daerah. Di dalam bahasa daerah banyak ditemukan ungkapan yang merupakan falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa yang kemungkinan bisa dijadikan dalil-dalil landasan pendidikan karakter, yang kemungkinan memiliki persamaan dalam setiap bahasa daerah, nitah bener, nyarek salah, jeung wawaran luang (hal yang perlu diconto dan hal harus dihindari).
Saya setuju dengan pendapat Ajip Rosidi yang menyatakan bahwa terjadinya tawuran salah satunya dipicu dengan kegagalan berkomunikasi. Komunikasi sehari-hari akan lebih banyak menggunakan bahasa nasional atau bahasa daerah, karena akan tidak berkarakter bila menggunakan bahasa asing sekedar untuk gaya. Berbahasa itu harus fungsional.
Jadi, jika salah satu alasan pengembangan Kurikulum 2013 itu untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, maka jangan langsung tim pengembang berpikir pada kemampuan berbahasa asing saja, tapi anak didik harus dilandasi terlebih dahulu kemampuan berbahasa daerahnya.
Kita jangan lengah, bahwa dalam bahasa daerah itu sarat dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Anak didik yang mempelajari bahasa daerahnya berarti pula mempelajari nilai-nilai luhur budayanya yang kian hari semakin terlupakan. Dengan mempelajari bahasa daerah, anak didik akan mengenali jati dirinya. Bahasa daerah di samping sebagai alat komunikasi, juga menjadi gerbang bagi anak didik untuk menemukan karakter pribadinya dan lingkungannya tempat ia berada. Jangan takut anak didik terganggu pikirannya karena belajar bahasa daerah.
Setelah mengkaji draft Uji Publik Kurikulum 2013, saya berpendapat bahwa tim pengembang Kurikulum 2013 mengawali kerjanya dengan cara menelaah berbagai permasalahan atau sebut saja kelemahan yang terdapat dalam Kuriklum 2006. Dalam draft tersebut dipaparkan pula delapan aspek yang menjadi permasalahan dalam Kurikulum 2006, di antaranya yang berkaitan dengan kelemahan isi, tujuan, standar proses, standar penilaian, sampai kompetensi lulusan. Permasalah penting lainnya yang dibidik Tim Pengembang Kurikulum 2013 serta dianggap belum terakomodasi dalam Kurikulum 2006 yaitu beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan).
Untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam Kurikulum 2006 itu, tim pengembang menetapkan landasan filosofis untuk Kurikulum 2013 adalah pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Memang itulah yang menjadi rohnya pendidikan. Peserta didik diharapkan memiliki sikap yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, baik yang berkaitan dengan norma-norma agama maupun norma-norma budayanya. Dan itu, memang selalu ada setiap pelajaran dan bukan hal yang baru, karena tujuan pendidikan yang utama dari dulu sampai sekarang adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa.
Di samping aspek filosofis tadi, aspek yuridis yang melandasi Kurikulum 2013, tim pengembang mengambil Inpres No. 1 Tahun 2010, tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional, yaitu penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai Budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa
Jika memerhatikan dua hal tadi, maka baik permasalahan Kurikulum 2006 maupun aspek filosofis dan aspek yuridis yang melandasi pengembangan Kurikulum 2013, terletak pada kata nilai-nilai akademik, nilai nilai luhur dan nilai-nilai budaya, serta kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
Yang menjadi pokok persoalannya adalah bagaimana meraih nilai-nilai luhur dan nilai akademik mampu membina karakter anak didik setelah mendalami materi pelajaran. Setiap mata pelajaran sudah pasti menawarkan karakter tertentu, sesuai dengan substansi materi yang dipelajarinya. Misalnya, pelajaran sain dan teknologi sarat dengan nilai-nilai akademik yang dibutuhkan peserta didik dan masyarakat agar cerdas, berkualitas dan mampu bersaing. Demikian juga pelajaran olah raga, seni, dan prakarya sarat dengan nilai akademik yang berkaitan dengan keterampilan. Akan tetapi untuk nilai-nilai luhur dan nilai nilai budaya yang terdapat dalam suatu bangsa itu harus digali melalui bahasa daerahnya. Lalu, mengapa bahsa daerah diabaikan?
Memperhatikan struktur pada draft Uji Coba Kurikulum 2013, saya belum begitu memahami di mana ruang dan berapa jam yang –secara tegas dan jelas– dapat diisi oleh tim pengembang kurikulum tingkat daerah. ***
(Penulis, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar